Rabu, 20 April 2016

Aspek Hukum Dalam Ekonomi

1.    Apakah peranan hukum di dalam ekonomi ?
Jawab : Hukum mempunyai pernanan dalam perkembangan ekonomi, dengan menyediakan infrastruktur hukum yang memungkinkan bagi berfungsinya sistem ekonomi, infrastruktur hukum ini, tidak hanya berupa seperangkat kaidah, tetapi meliputi pula lembaga dan proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam kenyataan.  Ekonomi merupakan tujuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan, sedangkan hukum adalah aturan atau tata tertib sosial yang di dalamnya terdapat kegiatan ekonomi, Seperti para pembisnis yang membutuhkan hukum dalam masalah ekonomi, apabila hukum lemah maka mengakibatkan usaha bagi para pembisnis menjadi tidak sehat, Pengaruh ini dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan untung-rugi yang berpengaruh pada kerja hukum. Karena tidak semua orang patuh terhadap hukum atas dasar hukum memang harus di taati. Masyarakat pun biasa mentaati hukum karena tujuan-tujuan lain untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara hukum dan ekonomi sangatlah erat dan bersifat timbal balik.

2.    Apakah hukum juga berlaku di daerah pedalaman? Kalau tidak berlaku, lalu bagaimana hukum atau aturan di daerah pedalaman!
Jawab : Tentu saja iya... hukum berlaku di daerah pedalaman juga, mengapa? Karena hukum yang sudah diterapkan disuatu negara atau daerah berlaku untuk seluruh daerah dari kota, desa, kabupaten hingga daerah pedalaman sekalipun. Namun sering kali kita temukan hukum yang berbeda dan juga banyak macamnya itu dikarenakan setiap daerah pedalaman memiliki adat istiadat yang kental bahkan mereka masih menjalani tradisi dari nenek moyang mereka. Maka dari itu mereka memperlakukan adanya hukum adat istiadat didaerah mereka. Contohnya suku Melayu Deli yang menerapkan norma dan hukum mengenai kelautan dimana akan diberi hukuman mati apabila melakukan pelanggaran seperti melakukan pemberontakan terhadap nahkoda atau untuk tindak perkosaan atau perzinahan.

3.    Dapatkah seseorang itu kebal hukum?
Jawab : Tidak ada yang kebal hukum dinegara hukum. Apabila warga negara mengemban tugas sebagai Wakil Presiden sekalipun tersangkut masalah hukum, itu harus sama perlakuannya di mata hukum. Pada dasarnya hukum dibuat untuk dipatuhi oleh siapa pun tanpa terkecuali tanpa melihat status sosial seseorang dan tidak mungkin bagi seseorang untuk kebal terhadap hukum karena hukum bersifat tegas dan memaksa, siapapun yang melanggar hukum harus diberikan sanksi yang sesuai tanpa memandang status sosial. Namun ada beberapa pengecualian bagi seseorang untuk kebal hukum contohnya seseorang yang bekerja di sebuah Kedutaan Besar. Bagi seseorang yang bekerja di sebuah Kedutaan Besar di suatu negara mereka akan kebal terhadap hukum yang berlaku di negara tersebut dan jika seseorang tersebut melakukan pelanggaran maka negara yang berhak menjatuhkan hukuman atau memberikan sanksi serta menindaklanjuti dan mengadilinya  adalah negara asalnya bukan negara dimana tempatnya bekerja.

Sumber :
http://kartikaasmara.blogspot.co.id/2013/07/peranan-hukum-dalam-ekonomi-indonesia_2072.html
http://noviaputriindah.blogspot.co.id/2015/03/aspek-hukum-dalam-ekonomi.html
http://prisilia-nirmala.blogspot.co.id/2015/03/kuesioner-pengantar-peranan-hukum-dalam.html
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/24/adnan-buyung-tidak-ada-yang-kebal-hukum-di-negara-hukum





Kasus Hukum Perikatan

Kasus Hukum Perikatan
Akta Jual Beli Tanah Dinilai Cacat Hukum
Kasus Jayenggaten SEMARANG

Akta jual beli tanah Jayenggaten dari ahli waris Tasripien kepada pemilik Hotel Gumaya, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayenggaten beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien, kepada Hendra Soegiarto, pemilik Hotel Gumaya.

Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasripien tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayenggaten, di Balai Kota, Selasa (6/9).

Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayenggaten mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.

Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH.

Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.

”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya. Tak Memutus Sewa

Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa.

Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayenggaten, menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.

Sebaliknya, pemilik Hotel Gumaya merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. ”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Gumaya), dan warga Jayenggaten,” usulnya.

Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayenggaten. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 8 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Gumaya bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.

Wakil Wali Kota, Mahfudz Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Gumaya. Bahkan, beberapa waktu lalu Mahfudz mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.


Pada kesempatan itu, Mahfudz memprihatinkankan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayenggaten pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayenggaten terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi prihatin,” ujarnya.

Sumber : http://angga-aprilia.blogspot.com/2013/05/contoh-kasus-hukum-perikatan.html?m=1