Seperti yang telah
ditugaskan oleh dosen matakuliah Perekonomian Indonesia. Makasaya akan
menjelaskan tentang Perekonomian Indonesia pada saat mengalami krisis tahun
97/98 dan juga membahas tentang Perekonomian Indonesia tahun 2015 akankah
krisis ekonomi tahun 97/98 akan terulang kembali ??? Berikut pembahasannya.
1. Awal Terjadinya Krisis Ekonomi Yang Muncul Di Indonesia
Krisis pertama yang
dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah
warisan orde lama. Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan
ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan
pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar
dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63% dari penerimaan
pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966. Selain itu, buruknya
perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit
neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara
blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa
yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau
tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke
luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu
(Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju
inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena banyaknya
jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972. Laju inflasi
memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill, 1974). Selain itu terjadi devaluasi
rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan September 1984,
Indonesia mengalami krisis perbankan, yang bermula dari deregulasi perbankan 1
Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan
memikul risiko kredit macet, serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,
baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut
terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997
(Tambunan,1998).
Terakhir, antara tahun
1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke
waktu. Pertama, walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar, apresiasi
nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia. Laju
pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari
pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS. Kedua, pada awal tahun 1994,
perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS
yang bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah
(Tambunan,1998).
Sumber: Tambunan (1998) pertukaran
bath-dollar.
Dari tahun 1985 ke tahun
1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah
menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25
bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath
Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing
mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek
perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan
nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang
didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank
Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan
dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath
terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath
per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh
dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti
itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang
terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia,
seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis
melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar
menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli
1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus
merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah
dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata
uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri
Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan
nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya
banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini
sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang
telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin
jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi
tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang
dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang
yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
2. Penyebab Krisis Ekonomi
Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat
besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi
“ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan,
bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun
masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang
swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam
mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa
menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi
untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali
tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari
bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara
tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar
negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip
dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam
banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari
keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu
bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di
negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai
tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang
memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.Daya tarik dari “dynamic
economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal
masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing,
dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar
pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan
1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan
untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi
justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan
Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang
terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi,
tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan
ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai
tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak
dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik,
dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya
apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas
dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya
mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini
adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony
capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti
dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang
ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else
loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin
membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan
pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk
keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata
makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor
swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus
dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar
(World Bank 1998).
2. Banyaknya kelemahan dalam
sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut,
masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan
dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada
pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerinth
tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor
perbankan.Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank
yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok
bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran
kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang
sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan
modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai
rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya
sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat
neracanya yang tidak sehat.
3. Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah
perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi
persoalan ekonomi pula.Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki
vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana
telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan
tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis
yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan
lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan
dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan
kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom
persepsi negatif tersebut tidak terlalu
menghambat ekonomi Indonesia.Akan tetapi begitu krisis menghantam,
maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu
mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan
pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu
berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling
utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis
kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi
modal baru.
4. Perkembangan situasi politik telah makin
menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis
ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi.
Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit
kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secra mantap dan
berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi
penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas
adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi
musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan
kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya
permerintahan yang terpercaya (credible).
3. Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi
Indonesia merupakan
salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul
oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti
diungkapkan oleh Haris (1998),
“Krisis ekonomi yang dialami Indonesia
sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan
merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya
pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi,
sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor
menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama
lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial.
Ekonom, dan politik yang baru pula”
Menurut Fischer (1998),
sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa
negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan
meski waktunya tidak dapat dipastikan. Misalnya di Thailand dan Indonesia,
defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun,
sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa
terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok
terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar
dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga
banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat
rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir
adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan
Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan
sangat rendah.
Anggapan Fischer
tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena
krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di
Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam
kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan
moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang
terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah
menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan
pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara
besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin
langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa
lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud
fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Keterangan
|
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank
Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis,
July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi
dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai
rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai
nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per
dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah
turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami
penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai
Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode
Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada
bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per
dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan
kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan
Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998,
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga
mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar
Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
|
US$/100 Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan (%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14
Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap
valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar
valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
4. Krisis Moneter Suatu Negara Bisa Dilihat Dari
Banyaknya modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut.
Banjirnya modal asing ke perbankan menandakan suatu negara sudah masuk ke dalam
fase pertama krisis keuangan.
Saat ini, Indonesia
sudah memasuki fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui
perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal tanah air. Artinya, jika
investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak
mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter.
Sekitar 60% saham asing
yang beredar di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40%
dikuasai oleh asing. Begitu kata Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan
Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Imansyah di Gedung A Bank Indonesia, Jakarta,
Jumat (27/2).
Angka tersebut sudah
seharusnya diwaspadai oleh pemerintah, mengingat Fed Rate tetap
diprediksi akan naik dan bisa berdampak pada 'berpindahnya' investor asing ke
Negeri Paman Sam tersebut. Imansyah menganjurkan pemerintah agar meningkatkan
investasi di sektor infrastruktur ketimbang sektor keuangan yang rawan terhadap
krisis.
''Capital inflow naik,
tapi investasi infrastrukturnya tidak berubah. Kan seharusnya untuk
infrastruktur. Artinya, investasi lebih dominan di pasar uang. Itu yang harus
ekstra hati-hati. Kan faktor krisis bisa lewat eksternal, ya lewat Amerika itu
'' ujar Imansyah.
Sayangnya, tidak banyak
perbankan yang mau memberikan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur lantaran risikonya terlalu besar. Padahal, sudah semestinya
swasta dan perbankan mendukung investasi di sektor infrastruktur karena margin
keuntungan di bidang tersebut berprospek jangka panjang.
''Memang sektor
infrastruktur bagi perbankan bisa dibilang sektor yang risikonya tinggi karena
pengembaliannya jangka panjang sekali. Padahal, umumnya
tingkat pengembalian di bank 5 tahun, sedangkan di sektor infrastruktur 5
tahun mungkin tidak cukup. Risiko 10 tahun-15 tahun itu sulit diprediksi,''
jelasnya.
Namun, ia masih sulit untuk memprediksi
krisis keuangan yang kemungkinan terjadi di Indonesia. ''Susah diprediksi,''
cetusnya.
Director of Graduate
Study Regional Science Johnson Graduate School of Management Cornell University
Iwan J Azis mengatakan ada tiga fase sebuah negara dalam menuju krisis moneter.
Fase pertama, modal asing masuk lewat perbankan. Fase kedua, modal asing masuk
lewat pasar modal dan terakhir modal-modal asing tersebut keluar alias tidak
lagi berinvestasi. ''Itu bisa membuat goyang kan. Masuk lalu keluar,''
tuturnya.
Fed Rate yang akan naik juga akan mempengaruhi kondisi perekonomian
negara-negara di Asia. Permasalahannya, lanjut Iwan, sudah ada beberapa negara
yang sudah mengantisipasi krisis moneter di negaranya.
' 'Contohnya Korea Selatan yang menerapkan fee kalau ada modal
asing yang masuk. Jadi harus bayar. Supaya masuknya tidak kebanyakan. Kalo
kebanyakan, lalu dibawa keluar akan goyang,'' jelas Iwan.
Ketua Umum Perhimpunan
Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan yang perlu
diwaspadai oleh pemerintah adalah cara mengelola krisis yang mungkin terjadi
kapan saja. Pasalnya, otoritas yang mengatur jika krisis terjadi tidak lagi
hanya berada di tangan Bank Indonesia (BI), tetapi juga ada di tangan
OJK.''Dulu persoalan makro prudential dan mikro ada di tangan BI. Artinya, bank
diatur dan diawasi BI. Sekarang mikronya ada di OJK. Makronya di BI yang
menyangkut moneter. Ini adalah batu ujian bagaimana bangsa ini mengelola
krisis,'' kata Sigit.
Sigit menyarankan pemerintah, BI, dan OJK
untuk saling berkoordinasi sebelum krisis moneter terjadi. Ia pun mendorong RUU
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) segera disahkan oleh parlemen.
''Harus ada UU JPSK.
Kalau tidak, nanti begitu ada ancaman krisis, orang-orang yang mengambil
keputusan akan diadili lagi secara politis, secara pidana. Kita melihat
pengalaman 2008, dengan mengambil alih Bank Century,'' lanjutnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat
Waluyanto menuturkan saat ini sudah sering dilakukan koordinasi antar deputi
dan pimpinan dalam lingkup BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Koordinasi itu dilakukan untuk saling berbagi informasi terkait situasi pasar
dan respon pasar terhadap kebijakan otoritas yang ada.
Ia mengklaim koordinasi yang dilakukan
selama ini sudah merupakan bentuk antisipasi terhadap krisis moneter yang tidak
dapat diprediksi datangnya.
''Kita siap aja. Krisis itu bisa karena
faktor domestik atau internasional. Saling berkaitan. Yang penting semua
bersiap. Kita akan merumuskan kebijakan dalam rangka merespon kondisi market,''
imbuhnya
Mari kita bandingkan
dengan data historis pergerakan rupiah itu sendiri. Berikut ini tampilan
pergerakan rupiah dalam infografis.
5. Dampak krisis ekonomi terhadap
perekonomian Indonesia
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang
menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat
itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut.
Dampak negatif yang ditimbulkan antara
lain :
1. Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997,
pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank
bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi
manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut.
2. Kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik
Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan
dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak
perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan
menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi,
angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan
bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya,
harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.
Selain memberi dampak negatif, krisis
ekonomi juga membawa dampak positif yaitu :
1. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke
luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk
turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang
pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam
neraca berjalan.
2. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil
Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit
usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan
mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk
kelompok menengah ke bawah. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari
jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.
6. Kelemahan RI Ketika
Terjadi Krisis Tahun 1997/1998
Salah satu kelemahan Indonesia saat terjadinya krisis 1997/1998 adalah
tidak adanya transparansi pengelolaan keuangan. Kala itu, tidak ada yang
mengetahui berapa besaran utang pemerintah maupun swasta.
Demikianlah yang
diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo kepada wartawan
di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2013)
"Di tahun 97/98 itu belum ada Undang-Undang (UU) keuangan negara dan
UU perbendaharaan negara, ditahun 97/98 itu kita nggak tahu besarannya utang
swasta. Itu kita nggak tahu utang pemerintah itu sebetulnya berapa,"
ungkap Agus.
Saat utang tidak
diketahui, tentunya berbahaya buat perekonomian. Sebab ketika utang jatuh tempo
di waktu yang sama, maka dimungkinkan mengganggu ketersediaan dolar didalam
negeri. Sehingga berujung pada pelemahan rupiah.
Berbeda dengan sekarang,
Agus menyatakan kondisi utang swasta dan pemerintah yang transparan. Ini dapat
membentu kepercayaan pasar terkait bagaimana pengelolaan keuangan di Indonesia.
"Sekarang itu semuanya ada, utangnya pemerintah pusat berapa, utangnya
pemda berapa, utangnya BUMN berapa, majority profile-nya seperti apa,
currency-nya seperti apa kita tahu. Jadi yang ingin saya sampaikan ini adalah
masalah kepercayaan," pungkasnya.
7. Pelemahan
Rupiah dan Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini
Berdasarkan data dari
Bank Indonesia (BI), pada tanggal 14 Maret 2015, Rupiah ditutup di posisi
Rp13,191 per US Dollar, dan ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah
terhadap US Dollar sejak krisis moneter tahun 1998. Jadi meski penulis pribadi
dalam satu dua tahun terakhir ini berusaha untuk tutup mata terhadap perkembangan
ekonomi makro dan tetap fokus pada faktor fundamental perusahaan dalam
berinvestasi di pasar saham, namun hal ini mau tidak mau tetap kelihatan,
karena bahkan pada krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar
Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun
2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik
terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni
Rp9,000-an per US Dollar.
Menariknya,
kita tahu bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis
ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tetapi pada
hari ini, meski kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi
perekonomian secara umum tampak masih berjalan normal, dan IHSG juga justru
malah sukses break new high dalam beberapa bulan terakhir. Anda
mungkin bertanya, sebenarnya Indonesia sedang dalam kondisi krisis, baik-baik
saja, apa gimana?
Nah,
terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untuk flashback ke
tahun 2013 lalu, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013, dimana Pemerintah
Indonesia ketika itu meluncurkan paket kebijakan ‘penyelamatan ekonomi’,
terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang ketika itu sudah
menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi pasar saham ketika itu
berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level 4,200-an,
atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di
tahun yang sama. Jadi boleh dibilang bahwa ‘problem’ yang dihadapi Pemerintah
ketika itu ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para
pelaku usaha riil), dan juga pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan
pelaku pasar modal lainnya). Dan mungkin itu sebabnya Presiden SBY ketika itu
gerak cepat dengan meluncurkan paket kebijakan tadi, karena beliau dihadapkan
pada tekanan baik dari para pengusaha maupun investor di pasar modal.
Problem yang sesungguhnya yang dihadapi
Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah :
1. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, Akibat
2. Defisitnya neraca ekspor impor, yang disebabkan oleh
3. Meningkatnya nilai impor peralatan dan mesin-mesin industri karena
pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri
4. Turunnya nilai ekspor karena turunnya harga batubara, CPO, serta karet,
yang merupakan tiga komoditas utama ekspor Indonesia.
Pada
tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tercatat hanya 5.8%, alias
turun signifikan dibanding puncaknya yakni 6.9% pada tahun 2011. Jadi ketika
Rupiah melemah sampai menembus Rp11,000 per Dollar, maka itu adalah refleksi
dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika fundamental perekonomian
Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai ‘saham Indonesia’ juga akan turut
melemah.
Dan
ketika Pemerintah meluncurkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, maka
harapannya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali meningkat, dan
alhasil nilai tukar Rupiah akan menguat dengan sendirinya. Berikut adalah empat
poin utama dari paket kebijakan ala Presiden SBY pada tahun 2013 lalu:
1. Pemberlakuan
potongan/pengurangan pajak bagi industri padat karya yang mampu mengekspor
minimal 30% produksinya
2. Ekspor bijih
mineral, yang sebelumnya dilarang sama sekali, sekarang dibolehkan asalkan
pihak perusahaan memenuhi syarat-syarat tertentu.
3. Meningkatkan
porsi penggunaan campuran biodiesel dalam solar, sehingga diharapkan akan
menekan impor bahan bakar minyak jenis solar, dan
4. Menaikkan pajak
untuk impor barang mewah, dari tadinya 75% menjadi maksimal 150%.
Berdasarkan
keempat poin diatas, maka jelas sekali bahwa tujuan Pemerintah ketika itu
adalah untuk meningkatkan ekspor (poin 1 dan 2), selagi diwaktu yang bersamaan
menekan impor (poin 3 dan 4), sehingga defisit perdagangan yang ketika itu
terjadi diharapkan tidak akan terjadi lagi. Paket kebijakan diatas masih
menyentuh akar permasalahan dari defisit tersebut, yakni penurunan harga
komoditas CPO dan batubara yang merupakan andalan ekspor Indonesia, dan peningkatan
impor peralatan dan mesin-mesin industri. Dan sayangnya bahkan sampai hari ini
harga CPO dan batubara masih belum pulih kembali. Alhasil, berdasarkan data
ekspor impor terakhir dari BPS, sepanjang tahun 2014 Indonesia masih mengalami
defisit neraca ekspor impor sebesar US$ 1.9 milyar. Kabar buruknya, angka
pertumbuhan ekonomi juga terus turun hingga sekarang tinggal 5.0% pada Kuartal
III 2014, dimana jika trend-nya begini terus, maka pada Kuartal berikutnya
angka pertumbuhan ekonomi tersebut kemungkinan bakal turun lagi.
Jadi
ketika Rupiah sekarang sudah menembus Rp13,000 per USD, maka sebenarnya kurang
tepat jika dikatakan bahwa, ‘Rupiah melemah karena seluruh mata uang di negara
manapun juga sedang melemah terhadap US Dollar’, karena faktanya perekonomian
kita memang lagi ada problem, dimana problem ini bukan terjadi baru-baru ini
saja, melainkan sudah terjadi sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Kalau
dikatakan bahwa kita sedang krisis ekonomi sih mungkin agak berlebihan, tapi
jika kondisi ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika krisis itu pada
akhirnya akan benar-benar terjadi.
Problemnya adalah,
terkait ‘akar permasalahan’ tadi, Pemerintah tentunya tidak bisa mengendalikan
harga komoditas di pasar internasional, dan Pemerintah juga tidak bisa begitu
saja menghentikan impor mesin-mesin industri, karena itu akan mematikan
industri itu sendiri (sehingga dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan
Pemerintah pada tahun 2013 lalu hanya karena kebijakannya tidak ‘menyentuh akar
permasalahan’, karena mungkin memang hanya itu yang bisa dilakukan). Jadi
pertanyaannya sekarang, mampukah Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan
kebijakan yang, meski mungkin juga tidak bisa secara langsung menyentuh akar
permasalahan, namun paling tidak bisa lebih efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat diimplementasikan? Contohnya:
1. Ekspor terbesar
Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara, adalah ekspor alat-alat listrik,
karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa memberikan
insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan mesin
mekanik, agar mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.
2. Ekspor terbesar
Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak mentah, gas,
ataupun minyak olahan. However, nilai ekspor migas ini cenderung turun dari
tahun ke tahun, dari US$ 41.5 milyar pada tahun 2011, menjadi hanya US$ 30.3
milyar pada 2014 (dan penyebabnya bukan karena semata penurunan harga minyak
dunia, mengingat rata-rata harga minyak pada tahun 2011 tercatat US$ 104 per
barel, atau hanya sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2014 yakni US$
96 per barel). Jadi dalam hal ini Pemerintah melalui kementerian dan
badan-badan terkait mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang
beroperasi di tanah air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan
produksinya.
3. Impor terbesar
Indonesia juga terletak di migas. Dan sayangnya meski nilai ekspor migas terus
turun dalam tiga tahun terakhir, namun nilai impor migas malah naik terus. Jadi
meski solusi yang ini sulit untuk bisa direalisasikan dalam waktu dekat, namun
Pemerintah harus segera merencanakan pembangunan kilang-kilang pengolahan
minyak di dalam negeri, agar kita tidak harus impor bensin dan solar lagi, atau
minimal dikurangi lah.
4. Memberikan
insentif bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar mereka mau
mengembangkan industri hilir CPO, termasuk mengembangkan biodiesel, agar
Indonesia bisa mengekspor produk hilir CPO yang memiliki nilai tambah, dan juga
mengurangi impor solar (sebenarnya ini juga baru akan terasa manfaatnya dalam
jangka panjang. Tapi kalau implementasinya gak dimulai dari sekarang, maka mau
nunggu sampai kapan?)
5. Diluar masalah defisit neraca perdagangan, ingat pula bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak semata didorong oleh meningkatnya ekspor dan menurunnya impor,
melainkan juga didorong oleh meningkatnya :
a. Belanja pemerintah
b. Konsumsi
c. Investasi
Pemerintah
tentunya punya banyak opsi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut,tinggal pilih
yang mana yang bisa diimplementasikan dalam waktu dekat.
Setelah
memperoleh tekanan dari publik terkait melemahnya Rupiah, dalam waktu dekat ini
Presiden Jokowi juga kemungkinan akan mengumumkan paket kebijakan penyelamatan
ekonomi. Kita lihat nanti, seperti apa paket kebijakannya.
Lalu
bagaimana dengan IHSG? Apakah ini artinya IHSG juga bakal anjlok, mengingat
seperti yang sudah dibahas diatas, perekonomian kita memang tidak bisa
dikatakan baik-baik saja? Dan jika IHSG nanti beneran anjlok, maka dia akan
turun sampai berapa? (ini pertanyaan yang sering sekali diajukan). Seperti yang
pernah dikatakan seorang teman, the future is not ours to see. IHSG
bisa naik dan turun kapan saja, dan kalau dia turun maka penurunannya juga bisa
sampai berapa saja. Namun yang bisa penulis sampaikan untuk saat ini adalah
bahwa kinerja para emiten di BEI sejauh ini masih cukup bagus, dan valuasi IHSG
masih belum terlalu mahal (masih lebih rendah dibanding ketika IHSG mencapai
posisi 5,250 pada bulan Mei 2013 lalu), meski juga sudah tidak bisa dikatakan
murah lagi. Jadi kalau asing masih terus masuk seperti sebulanan terakhir, maka
IHSG juga masih bisa naik karena dari sisi valuasi IHSG masih memiliki ruang
untuk naik lebih lanjut, selain karena masih ada sentimen positif dari
keluarnya laporan keuangan perusahaan serta pembagian dividen dalam waktu satu
dua bulanan kedepan.
Intinya
meski dalam jangka waktu yang lebih panjang penulis melihat bahwa IHSG pada
akhirnya nanti akan turun untuk menyesuaikan dengan fundamental ekonomi
nasional, namun untuk saat ini IHSG masih punya cukup banyak alasan untuk
paling tidak bertahan di posisinya saat ini. Benar atau tidak, kita lihat
nanti.
8. Tantangan Indonesia Ketika
Menghindari Krisis Ekonomi 97-98
Sejak pertengahan tahun
ini pasar Emerging Market (EM) mendapatkan tekanan, namun EM yang memiliki
fundamental domestik lebih kuat akhir-akhir ini mendapatkan kestabilan. Namun
sebagian negara pasar negara berkembang lainnya mengalami tekanan signifikan
khususnya di Indonesia, sentimen para investor semakin negatif akibat 4
tantangan utama, antara lain:
- Timpangnya defisit neraca
berjalan
- Inflasi yang tinggi
- pelambatan pertumbuhan
- kerapuhan dari kepemilikan aset
oleh asing
Konsekuensi nya mata
uang Rupiah mengalami depresiasi sebesar 8% sejak bulan Juli 2013, tidak
terpengaruh oleh kenaikan BI rate sebesar 75 basis point. Bagaimanapun
terulangnya krisis 1997 - 1998 saat ini masih kecil kemungkinannya, karena
cukup banyak yang telah dipelajari oleh Asia supaya kasus 1997 tidak terulang
lagi.
Selanjutnya kami
ekspektasikan dua tantangan pertama yang disebutkan diatas (masalah defisit
neraca &inflasi) akan dapat diatasi pada semester kedua 2013. Defisit neraca
berjalan setelah melebar ke level 4.4% dari GDP pada Q2, kemungkinan akan
menyusut di Q3 mencerminkan imbas positif dari reformasi subsidi BBM yang baru
diimplementasikan pada bulan Juni lalu. Jika skenario nya CHina berhasil
stabil, dikombinasi dengan outlook yang lebih positif di AS, Eropa dan Jepang,
maka laju ekspor Indonesia siap untuk bangkit. Meski harga Minyak kelapa sawit
dan batubara masih mengalami kontraksi, namun ekspor minyak dan gas bumi ke
Jepang yang mengkontribusi 10% dari total revenue ekspor mulai menunjukkan
sinyal pemulihan di Q2 setelah sepanjang tahun mengalami kontraksi. Selain itu
harga sektor penting lainnya seperti tekstil dan logam lainnya mulai
menunjukkan kestabilan.
Inflasi inti kemungkinan akan melambat setelah mencapai level puncak di bulan
September, meskipun masih terbuka peluang adanya kenaikan inflasi utama pada
semester pertama 2014. Namun belum cukup jelas apakah BI akan bereaksi pada
inflasi utama atau inflasi inti. Pada periode Gubernur BI, Darmin Nasution,
tampaknya inflasi inti lebih dipertimbangkan sebagai variable yang penting.
Seperti terlihat pada grafik dibawah ini, tekanan inflasi inti mulai
berkurang berkorelasi dengan penurunan money supply, di lain sisi kondisi
disinflasi ini juga memberikan sinyal adanya pelambatan pertumbuhan. Meski
terdapat bukti pelambatan permintaan domestik, hal ini masih dapat diimbangi
dengan rebound pertumbuhan global di akhir 2013 hingga 2014. Dapat
diestimasikan peningkatan pertumbuhan global sebesar 1% akan mendongkrak current
account balance Indonesia sekitar 0.2%.
Bank Indonesia pada Kamis minggu lalu menaikkan suku bunga acuan BI rate
sebesar 50 basis poin. Untuk sesaat, langkah ini dapat menyelamatkan rupiah
dari kejatuhan lebih parah. Bulan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar turun
9%, sementara pekan lalu 4,4%. Pasar saham pun turut stabil setelah anjlok
lebih dari 20% dari titik tertingginya Mei silam.
Sebagian pelaku pasar
mungkin masih meragukan apakah BI memiliki leadership yang solid ketimbang
hanya bereaksi. Pasalnya pada rapat Dewan Gubernur 15 Agustus lalu, BI tidak
menaikkan BI rate dan lebih memilih pengetatan giro wajib minimum (GWM).
Setelah pasar bereaksi negatif pada paket kebijakan baru yang diumumkan MenKeu
Chatib Basri, BI pun akhirnya berbalik haluan pada rapat darurat Kamis. Di lain
sisi, pengetatan kebijakan ini mengindikasikan keseriusan BI untuk
memprioritaskan kestabilan nilai tukar. Jadwal rapat dewan gubernur berikutnya
pada tanggal 12 September seharusnya tidak akan terjadi kenaikan suku bunga
lagi, dan kami ekspektasikan BI untuk tetap menjaga suku bunga acuan stabil di
7% hingga akhir tahun 2013. Bagaimanapun mengingat imbas negatif dari kenaikan
suku bunga agresif pada pelambatan momentum pertumbuhan, maka terdapat peluang
perbalikan arah suku bunga untuk diturunkan setidaknya pada semester pertama
2014, atau bisa datang lebih cepat jika kondisi market sudah memungkinkan.
Sementara outlook
defisit neraca perdagangan kemungkinan menyusut kedepannya, pertumbuhan ekspor
telah mencapai fase bottoming out sehingga masih terbuka peluang perbaikan
moderat dalam 2 hingga 3 triwulan kedepan. Stabilitas pertumbuhan ini ditunjang
oleh pemulihan ekonomi partner dagang utama Indonesia, yakni AS, Jepang dan
China yang di jangka pendek kemungkinan akan menopang ekspor. Di lain sisi arus
investasi asing (FDI) juga masih solid diperkirakan stabil di kisaran $3 - $4
milyar per kwartal, yang dapat mempersempit gap defisit neraca berjalan. Dimana
hal ini akan memperbaiki arus capital inflow sehingga mengurangi tekanan pada
rupiah.
Paket kebijakan terbaru
yang diumumkan MenKeu, Chatib Basri sendiri sebenarnya cukup baik untuk
mengembalikan keyakinan para investor ditengah kondisi makro yang lemah yang
sejauh ini menjadi faktor utama yang menekan Rupiah. Oleh sebab itu kebijakan
pemerintah sejalan dengan BI akan terfokus untuk mengurangi defisit neraca
sembari mempertahankan nilai tukar, menjaga pertumbuhan ekspor dan daya beli,
serta memerangi inflasi dan meningkatkan arus investasi. Langkah yang diambil
pemerintah sebenarnya bertujuan untuk mengurangi tekanan pada bank sentral
terkait kenaikan suku bunga agresif.
Selain itu, untuk
mengurangi tekanan defisit, pemerintah melonggarkan batasan kuota ekspor
mineral yang diterapkan tahun lalu dengan 20% pajak, namun hal ini kemungkinan
belum dapat mendongkrak ekspor di jangka pendek selama pajak yang tinggi masih
berlaku. Sementara untuk menekan laju impir, pemerintah menaikkan pajak barang
mewah. Import kendaraan bermotor memang sangat tinggi, namun masih ada potensi penurunan
setelah kenaikan harga BBM. Impor minyak kemungkinan jatuh secara gradual
dibanding Q3, sehingga menopang posisi current account. Namun penurunan volume
impor tersebut terlihat kurang efektif jika depresiasi Rupiah masih mengalami
eskalasi karena hal tersebut dapat meningkatkan biaya impor riil.
Kekhawatiran utama
memang kerapuhan Indonesia dari faktor eksternal mengingat tingginya
kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia dan meningkatnya utang jangka
pendek. Selama periode QE2 tahun 2009 dari The Fed, Indonesia termasuk salah
satu negara yang mendapatkan arus modal cukup besar. Tercatat kepemilikan asing
pada obligasi meningkat tajam pada periode tersebut, mencapai 32% dari total
outstanding pada akhir Q2, sementara 55% dari surat berharga yang baru terbit
di periode September 2012 hingga Juni 2013 masih dimiliki asing.
Oleh sebab itu efek
eksternal masih dominan pada nilai tukar Rupiah, khususnya isu tapering
stimulus The Fed, setelah para pelaku pasar global mulai bisa menerima situasi
tapering, maka kondisi tersebut mungkin tepat bagi BI untuk mulai menarik
kembali siklus pengetatan moneter kemungkinan di semester pertama 2014 setelah
menaikkan suku bunga sebesar 125 basis point hanya dalam 3 bulan. berdasarkan
kondisi makro ini, maka dapat diekspektasikan Rupiah cenderung mengalami
depresiasi hingga akhir 2013, potensi mengalami final spike ke kisaran 12500,
sebelum akhirnya stabil di kisaran 10,800 - 11,000 di Q1 2014. Sementara indeks
saham IHSG masih menjadi pasar yang paling rapuh diantara pasar emerging market
lainnya ditengah kondisi normalisasi moneter The Fed, akibat valuasi yang
tergolong cukup mahal, defisit neraca yang cukup tinggi.
Adanya devaluasi mata
uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya
kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian
merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia.
Pada mulanya kurs dolar
Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik
terus (pada bulan Agustus – November 1997) sampai menunjukan angka
US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank
Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan
dilapangan, bank-bank menaikan leading rate (tingkat suku
bunga kredit) karena cost of loanable punds mengalami
kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran
likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada
tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.
Krisis nilai tukar /
krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis
ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan
masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi
karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade
setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi.
Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah.
Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit
untuk usaha dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan
disektor riil. Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah
krisis perbankan dijerat dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga
mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami
kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial,
krisis kepercayaan dan krisis polotik.
Seperti yang dikemukakan
berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda
Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Krisis Moneter, Indikatornya :
a. Depresiasi
kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b. Neraca
pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c. L/C
bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d. Uang beredar
terus meningkat.
2. Krisis Perbankan, Indikatornya :
a. Likuidasi
bank ditutup
b. Pembentukan BPPN
untuk menyehatkan bank-bank
c. Bank beku
operasi dan bank take over
d. Hutang luar
negeri yang membengkak
e. Tingkat
suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f. Tingkat
suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g. Hutang bank
dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
3. Krisis Ekonomi, Indikatornya :
a. Tingkat
suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b. Stagnasi di
sector riil
c. Tingkat
inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d. PHK di berbagai
sector riil.
4. Krisis Sosial, Indikatornya :
a. Tingkat
pengangguran meningkat
b. Penduduk dibawah
garis kemiskinan meningkat
c. Kerusuhan
dan penjarahan
d. Kriminalitas
meningkat.
5. Krisis Kepercayaan, Indikatornya :
a. Kepercayaan
pada pemerintah turun drastic
b. Demonstrasi dan
unjuk rasa mahasiswa
c. Hujatan
terhadap presiden Soeharto
d. Tuntutan oleh
mahasiswa, masyarakat dan politisi.
6. Krisis Politik, Indikatornya :
a. Terbentuknya
partai-partai politik baru
b. Demonstrasi dan
unjuk rasa anti pemerintah
c. Sinisme
dan hujatan terhadap kebijakan pemerintah
d. Pro dan kontra
siding istimewa MPR.
9. Akankah Terulang Krisis Ekonomi Indonesia Tahun
1997-1998 ?
Sebelum melihat kabar
ekonomi mengenai bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti
pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau
indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.
Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang
melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang
Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan,
namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata
uangnya.
Namun untuk
mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan
cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung
sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada
bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya
menjadi free-float market.
Pada akhirnya, mata uang
Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah
senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang menjadi awal mula krisis
finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia
lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat
signifikan.
Spekulan Merajalela,
Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan
tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus
secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008
silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah
kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.
Namun saat ini, indikasi
cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya,
sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya
dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang
Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja,
Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan
rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka
tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan.
Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah
diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti
Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak
akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus.
Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level
100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa
sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus
terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda
krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang
besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya
banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran
secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke
tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi,
sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600
Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan
Rupiah jatuh hingga ke level 11.000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan
nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15.000 per USD pada paruh
pertama tahun 1998.
Krisis finansial ini
mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan
terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka kesimpulannya, sangat penting saat
ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang
efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia
gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal
mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya
seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.
10. Kebijakan-Kebijakan
Pemerintah dan Peran IMF (International Monetary Fund) dalam Mengatasi Krisis
Ekonomi
Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis
ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS tidak dapat dibendung sendiri, lebih lagi cadangan dollar AS di BI
sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai
tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan
kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan
kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi
Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi
sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat
nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro
(fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi
struktural, yang ditandatangani bersama.
Butir-butir
dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang,
usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan
listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang
terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan
fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin,
memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
Namun
kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh
Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang
ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain,
kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang
terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan
pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang
terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan
swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan,
kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary
Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir,
7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah
menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia,
memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat
implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan
berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta,
dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan
yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh
appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor
perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan
swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum
kebangkrutan dan reformasi yuridis.
11. Analisa Perekonomian Indonesia Tahun
2015
Saat ini Indonesia
kembali terancam mengalami krisis ekonomi. Bank sentral AS mulai menarik
program stimulusnya, sehingga para spekulan menarik kembali investornya di
Indonesia. Hal ini pasti akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian
Indonesia. Bayangkan saja, disaat nilai tukar rupiah sedang melemah saat ini,
dimana USD1 hampir mencapai Rp 11.000,- para investor beramai-ramai menarik
investasinya tentunya Indonesia akan menanggung nilai kurs yang cukup tinggi.
Apabila hal ini terus terjadi, maka perusahaan-perusahaan yang memiliki hutang
di luar negeri juga akan merasakan dampaknya. Jumlah hutang
perusahaan-perusahaan tersebut akan semakin membengkak. Alternatif yang diambil
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menutup usahanya sehingga menyebabkan
penambahan jumlah pengangguran di Indonesia. Maka dapat dipastikan,Indonesia
akan kembali mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997.
Krisis ekonomi ini
menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan 14% GDP-nya untuk melunasi hutang ke
luar negeri.Padahal jika GDP yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk
memperbaiki struktur ekonomi Indonesia,maka tentu saja akan akan kondisi
perekonomian Indonesia pada saat ini lebiha baik.
Kondisi seperti ini
tidak boleh terjadi secara berkesinambungan.Uang Negara selalu dihabiskan untuk
menutupi hutang diluar negeri yang jumlahnya terus bertambah.Jika uang Negara
selalu di alokasikan untuki menutupi hutang,bagaimana dengan infrastruktur
Indonesia yang masih sangat membutuhkan perhatian dan perbaikan? Oleh sebab
itu, pemerintah harus mebuat suatu kebijakan-kebijakan baru untuk dapat
mengatasi hutang-hutang tersebut.
Solusi-solusi lain yang
mungkin dapat diambil untuk mengurangi jumlah hutang diluar negeri antara lain:
1. Meningkatkan
daya beli masyarakat melalui pemberdayaan pedesaan dan UMKN
2. Meningkatkan
pajak secara progresif terbadap barang impor dan barang mewah
3. Konsep
pembangunan yang berkesinambungan,berlanjut dan mengarah pada suatu titik
maksimal,dan melepaskan secara bertahap ketergantungan hutang diluar negeri.
4. Menciptakan
rasa 0bangga akan produksi dalam negeri dan berupaya untuk menggalakkan
barang-barang ekspor
5. Mengembangkan
sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejahteraan yang adil dan
merata.
Kesimpulan
Indonesia mengalami
krisis moneter bukan baru sekali ini saja. Sebagai salah satu Negara
berkembang, Indonesia sudah sering mengalaminya. Krisis yang paling parah
terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu, Indonesia berada dibawah
pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), dimana kebijakan-kebijakan
ekonominya telah menghasilkan kemajuan ekonomi yang pesat. Namun disamping itu,
kondisi sektor perbankan memburuk dan semakin besarnya ketergantungan terhadap
modal asing,termasuk pinjaman dan impor, yang membuat Indonesia dilanda suatu
krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS pada pertengahan tahun 1997. Keadaan ini kemudian diperburuk dengan
adanya krisis nilai tukar bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar
menguat. Penguatan nilai tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan
nilai tukar rupiah semakin anjlok.
Banyak sekali
faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua aspek penting
yang menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni
saldo transaksi berjalan dalam keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca
pembayaran dan adanya utang luar negeri jangka pendek yang tidak bisa dibayar
pada waktu jatuh tempo.
Terjadinya
krisis ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian
Indonesia, di dalam segala aspek kehidupan. Namun secara keseluruhan, dampak
negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini lebih besar daripada dampak
positif yang ditimbulkan.
Dalam menangani
krisis ini, pemerintah tidak dapat menanganinya sendiri. Karena merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi
cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena itu, pemerintah
meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang fungsi utamanya
adalah membantu memelihara stabilitas kurs devisa Negara-negara anggotanya dan
tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi bank-bank umum yang mengalami
kesulitan likuiditas.
Referensi :
http://www.pakartrading.com/2013/09/tantangan-indonesia-ketika-menghindari.html?m=1
Note :
Tugas ini dibuat hanya untuk
menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Perekonomian Indonesia. Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar