Mengapa koperasi di Indonesia tidak lagi menjadi soko
guru kegiatan ekonomi???
Sejak awal
kelahirannya Koperasi diharapkan menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Pola
pengorganisasian dan pengelolaannya yang melibatkan partisipasi setiap anggota
dan pembagian hasil usaha yang cukup adil menjadikan koperasi sebagai harapan
perngembangan perekonomian Indonesia.
Koperasi
Indonesia sebenarnya merupakan salah satu badan usaha yang ada dalam
perekonomian Indonesia. Keberadaannya diharapakan dapat banyak berperan aktif
dalam mewujudkan kesejahteraan dana kemakmuran rakyat. Namun di era reformasi
ini keberadaannya banyak dipertanyakan, bahkan seringkali ada yang mengatakan
sudah tidak terlalu terdengar lagi dan apakah masih sesuai sebagai salah satu
badan usaha yang berciri demokrasi dan dimiliki oleh orang per orang dalam satu
kumpulan, bukannya jumlah modal yang disetor seperti badan usaha lainnya.
Padahal Koperasi menjadi soko guru (kekuatan) perekonomian Indonesia. Maksud
dari koperasi merupakan soko guru (kekuatan) dalam perekonomian Indonesia
adalah Dengan adanya koperasi akan memperkuat perekonomian di Indonesia, karena
pada dasarnya Koperasi itu "oleh kita untuk kita".
Atas dasar itu
seharusnya Koperasi dibangun, karena koperasi merupakan wadah yang paling tepat
untuk menghimpun kekuatan ekonomi rakyat. Yaitu mereka yang terdiri oleh orang
orang kecil (kurang mampu) dan lemah. Yang jika bergabung bersama akan menjadi
kekuatan besar. Itulah makna Koperasi merupakan Soko gurunya dalam perekonomian
indonesia.
Menurut Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dikatakan
bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan
hukum Koperasi dengan berlandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Nampaknya para
penyusun UU No. 22 Tahun 1992 itu (Presiden dan DPR) sudah lupa bahwa para
founding father kita (Bung Hatta) bercita-cita untuk menjadikan Koperasi
sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Koperasi dianggap sebagai badan usaha yang terlalu
banyak merepoti pemerintah. Karena banyak kredit program yang diterima Koperasi
(utamanya KUD) raib diselewengkan pengelolanya.
Namun kenyataan
di lapangan, berbicara lain. Saat Indonesia mengalami krisis berkepanjangan,
justru eksistensi Koperasi nampak nyata. Saat hampir semua bank-bank besar
macam BCA, Bank Lippo (bank swasta) , maupun bank pemerintah: Bank Bumi Daya,
Bank Bapindo dan Bank Dagang Negara (yang kemudian ketiga bank terakhir dilebur
menjadi Bank Mandiri) dan banyak bank lain pada colaps, Koperasi masih bisa
menjadi tumpuan anggota dan masyarakatnya dalam hal melayani keperluan modal.
Tak bisa
dibayangkan, manakala saat itu, selain bank, Koperasi juga ikut colaps, pasti
akan semakin banyak jumlah angkatan kerja yang mengalami PHK.
Meskipun
demikian, sampai sekarang, di mata perbankan, posisi tawar Koperasi masih
dipandang sebelah mata. Untuk bisa memperoleh kredit, di banyak bank, perlu
Koperasi melengkapi banyak persyaratan yang sering merepotkan. Memang banyak
Koperasi yang nakal. Tapi masih lebih banyak Koperasi yang baik.
Koperasi dan
koperasi, dalam praktek, ada bedanya. Koperasi (yang sejati) dibentuk dari,
oleh dan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Sementara koperasi dibentuk seorang
seorang pemodal yang ingin memutar uangnya di koperasi. Hal ini dimungkinkan,
karena untuk membentuk koperasi, pasca reformasi, sangatlah mudah.
Sejatinya
Koperasi dibentuk demi untuk kesejahteraan anggotanya. Sementara koperasi
dibentuk demi keuntungan pemodal semata. Ibaratnya PT berbaju koperasi. Bahkan,
tak jarang, mereka (para pemodal) itu rela membeli badan hukum Koperasi yang
sudah tidak aktif lagi dengan nilai tak kurang dari puluhan juta rupiah.
Dukungan dari
pemerintah dan berbagai lembaga lainnya membuat koperasi dapat tumbuh subur di
tanah air. Akan tetapi perkembangan koperasi tidak senantiasa semulus apa yang
diharapkan dan dibayangkan.
Gerakan koperasi
pada saat ini bisa dikatakan makin meredup. Sebab, seperti yang dikatakan Budi
Laksono (2007), pejabat pemerintah kehilangan jejak substansi filosofis
pembangunan koperasi sebagai soko guru ekonomi. Selain itu, disebabkan pula
oleh perubahan Departemen Koperasi menjadi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (UKM). Sehingga, berimplikasi pada menurunnya perhatian pemerintah
pada upaya menggerakkan koperasi yang digagas pendiri bangsa, Bung Hatta
sebagai soko guru perekonomian. Karena itu, tak heran, jika Sri Edi Swasono
pakar koperasi menilai bahwa, langkah-langkah yang dilakukan Kementrian
Koperasi dan UKM salah arah dan hanya terfokus pada UKM. Padahal, lanjut
Swasono, UKM lebih banyak dilakukan oleh individu-individu, sedangkan koperasi
lebih mengedepankan kebersamaan.
Di samping itu,
koperasi yang sudah makin meredup itu, diperparah lagi dengan konflik internal
aktivis gerakan koperasi. Konflik yang sebenarnya sudah terjadi dua tahun lalu
itu, diawali oleh kelompok aktivis gerakan koperasi ketika mendeklarasikan
Dekopin tandingan. Deklarasi Dekopin itulah kemudian yang menyeret Kementrian
Koperasi dan UKM untuk terlibat masuk ke arena konflik, karena dianggap telah
menelurkan keputusan yang merugikan salah satu pihak yang bertikai. Menteri
akhirnya digugat dan berperkara hukum dengan salah satu Dekopin yang dikembari.
Tak urung, pembinaan koperasi di daerah makin kedodoran. Sebab, dewan koperasi
yang semestinya menjadi payung koperasi-koperasi di daerah tidak lagi sempat
memikirkan pengembangan dan pembinaan, karena lebih asyik bertikai dengan
sesama aktivis Dekopin lain versi, yang sampai saat ini belum kunjung usai.
Sehingga, akibat konflik itu, dana pembinaan koperasi dari APBN oleh Menteri
Keuangan tidak dicairkan sebelum kasus pertikaian itu selesai.
Program
kredit usaha rakyat (KUR) juga,
misalnya. Pemerintah menyertakan dana triliun rupiah untuk menjamin supaya
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mendapatkan kredit tanpa
agunan. Walau disebut tanpa agunan, tidak semua UMKM terbiasa berhubungan
dengan bank.
Program linkage
pun demikian. Pemerintah malah hanya berperan sebagai mak comblang alias
fasilitator yang merekomendasikan koperasi tertentu layak mendapatkan kucuran
kredit dari perbankan. Lagi-lagi, perbankan lebih dipercaya dibandingkan dengan
koperasi.
Tunggakan kredit usaha tani (KUT) memang menjadi pelajaran terburuk
perkoperasian Indonesia. Namun, tidak semua koperasi kini buruk. Prinsipnya koperasi
hanya bisa menjadi baik dan dipercaya kalau pengurusnya tidak neko-neko baik
dalam perkataan maupun perbuatan. Pengawasan masuk-keluarnya uang pun harus
transparan.
Syarat
saya sebagai warga negara indonesia agar koperasi di Indonesia dapat tumbuh dan
berkembang yaitu :
1.
Memperbaiki
pengelolaan dengan lebih professional
Manusia sekarang memang
kurang memahami apa arti manajemen itu sendiri, oleh karenanya hampir dalam
segala aspek dan bidang terutama koperasi tidak dapat terorganisir antara
pekerjaan yang satu dengan yang lain, serta kurang terorganisir juga hubungan
antara atasan dengan anggota dibawahnya. Solusi yang tepat dalam
menangani masalah ini adalah dengan cara lebih memerhatikan para anggota dalam
melakukan segala tindak pekerjaannya, serta dengan cara memberikan penyuluhan
secara rutin kepada anggota pada kurun waktu yang sama.
2.
Demokrasi ekonomi
yang leluasa
Setiap koperasi
seharusnya dapat secara leluasa memberikan pelayanan terhadap masyarakat,
karena koperasi sangat membantu meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat oleh
segala jasa – jasa yang diberikan, tetapi hal tersebut sangat jauh dari apa yang
kita pikirkan. Keleluasaan yang dilakukan oleh badan koperasi masih sangat
minim, dapat dicontohkan bahwa KUD tidak dapat memberikan pinjaman terhadap
masyarakat dalam memberikan pinjaman, untuk usaha masyarakat itu sendiri tanpa
melalui persetujuan oleh tingkat kecamatan dll. Oleh karena itu seharusnya
koperasi diberikan sedikit keleluasaan untuk memberikan pelayanan terhadap
anggotanya secara lebih mudah, tanpa syarat yang sangat sulit.
3.
Kementrian
koperasi harus bekerja dengan sangat agresif dan lintas sektoral
Karena untuk
membangkitkan perkoperasian
di Indonesia, padahal sesuai dengan undang-undang dasar 1945 perekonmian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan.
4.
Kuatkan komitmen
pemerintah untuk memberdayakan koperasi
Komitmen
para pemegang otoritas di negara kita termasuk presiden, menteri, dan pimpinan
lembaga tinggi negara untuk memberdayakan koperasi di semua sektor kegiatan
ekonomi dan sosial. Secara kasat mata kita melihat adanya egosektoral dan
ketidaksamaan persepsi tentang pentingnya wadah koperasi sebagai instrumen
untuk mewujudkan demokrasi ekonomi di berbagai kementerian.
5.
Pemerintah harus lebih pro aktif
Melalui
dinas dan organisasi terkait lebih pro aktif, jemput bola dan melakukan
pembinaan serta pengawasan berkesinambungan, memotivasi pembinaan dan
pemberdayaan koperasi yang membutuhkan sinergi dari sumberdaya yang dimiliki
bagi pemberdayaan koperasi, sehingga koperasi sebagai soko guru ekonomi bukan
sekedar isapan jempol belaka.
Sumber :